Ketika ibu dari Iyas bin Muawiyah wafat, Iyas meneteskan air mata
tanpa meratap (niyahah), lalu beliau ditanya tentang sebab tangisannya,
jawabnya,”Allah bukakan untukku dua pintu masuk jannah, sekarang, satu
pintu telah ditutup.”
Begitulah, orangtua adalah pintu jannah, bahkan pintu yang paling
tengah diantara pintu-pintu yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Orangtua adalah pintu jannah yang paling tengah, terserah
kamu, hendak kamu terlantarkan ia, atau kamu hendak menjaganya.” (HR
Tirmidzi). Al-Qadhi berkata, ” Maksud pintu jannah yang paling
tengah adalah pintu yang paling bagus dan paling tinggi. Dengan kata
lain, sebaik-baik sarana yang bisa mengantarkan seseorang ke dalam
jannah dan meraih derajat yang tinggi adalah dengan mentaati orangtua
dan menjaganya.”
Bersyukurlah jika kita masih memiliki orangtua, karena di depan kita
ada pintu jannah yang lebar menganga. Terlebih bila orangtua telah
berusia lanjut. Dalam kondisi tak berdaya, atau mungkin sudah pelupa,
pikun atau tak mampu lagi merawat dan menjaga dirinya sendiri, persis
seperti bayi yang baru lahir.
Rata-rata manusia begitu antusias dan bersuka cita tatkala memandikan
bayinya, mencebokinya dan merawatnya dengan wajah ceria. Berbeda halnya
dengan sikapnya terhadap orangtuanya yang kembali menjadi seperti bayi.
Rasa malas, bosan dan kadang kesal seringkali terungkap dalam kata dan
perilaku. Mengapa? Mungkin karena ia hanya berorientasi kepada dunia, si
bayi bisa diharapkan nantinya produktif, sedangkan orang yang tua
renta, tak lagi diharapkan kontribusinya. Andai saja kita berorientasi
akhirat, sungguh kita akan memperlakukan orangtua kita yang tua renta
dengan baik, karena hasil yang kita panen lebih banyak dan lebih kekal.
Sungguh terlalu, orang yang mendapatkan orangtuanya berusia lanjut,
tapi ia tidak masuk jannah, padahal kesempatan begitu mudah baginya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh celaka… sungguh celaka… sungguh celaka..”, lalu
dikatakan,”Siapakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yakni orang
yang mendapatkan salah satu orangtuanya, atau kedua orangtuanya berusia
lanjut, namun ia tidak masuk jannah.” (HR Muslim)
Ia tidak masuk jannah karena tak berbakti, tidak mentaati
perintahnya, tidak berusaha membuat senang hatinya, tidak meringankan
kesusahannya, tidak menjaga kata-katanya, dan tidak merawatnya saat
mereka tak lagi mampu hidup mandiri. Saatnya kita berkaca diri, sudahkah
layak kita disebut sebagai anak berbakti?
(Abu Umar A)